Minggu, 10 Agustus 2008

SAFIRA

Malam telah larut. Safira bergegas menuju kamarnya dengan digelayuti mata yang berkunang-kunang. Petang telah membuatnya kelelahan. Namun, letih itu berubah seketika ia terpaku memandang lelap Rama dan Dinda, kedua anak yang lahir dari figur ayah yang berbeda. Sebelum fajar tiba, masa lalunya terkenang begitu saja dalam benaknya. Sebuah liontin berlapiskan mutiara yang tak pernah lepas dari jari manisnya. Itu lah wujud cinta kasih seorang pria yang amat menyayangi Safira. Masa lalu yang mengantarkan kepada sebuah mahligai cinta seorang adam dan hawa yang tengah mencari cinta. Safira telah menemukan pilihan hidupnya dan mendapat kebahagiaan bersama Firman. Lelaki muda yang tak pernah membiarkan kesusahan menimpa Safira. Mereka berdua hidup bahagia dengan kedamaian di dalam kehidupan rumah tangganya. Rasa cinta di antara mereka tak kan mungkin terpisahkan oleh apapun kecuali maut. Tak berapa lama kemudian Tuhan mengabulkan doa mereka berdua untuk mendapatkan buah hati. Namun, malapetaka pun akhirnya terjadi. Firman mengalami kecelakaan di saat Safira tengah mengandung 4 bulan. Kecelakaan yang mebawa malapetaka di dalam rumah tangga mereka. Firman divonis terkena gegar otak yang amat parah sehingga mengorbankan nyawanya.

”Ibu, aku tidak kuat menghadapi cobaan ini !”keluh Safira pada Ibunya.

”Sabar dan tabahlah anakku, semoga suamimu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya”.

Isak tangis Safira yang tiada kunjung reda membuat Ibunya pasrah. Kecintaan dan kesetiaan Firman yang besar pada Safira semasa hidupnya yang membuat Safira seperti sedang dalam cobaan yang besar. Wajar saja karena sekarang Safira tengah mengandung buah hati yang amat mereka idam-idamkan.

Setiap kali Ibunya datang ke rumah Safira, tak pernah terlihat senyum di bibirnya. Ternyata kenangan Firman begitu dalam hingga membuatnya semakin menderita. Berulangkali Ibunya telah menasihati agar Safira tidak usah cemas. Tapi Safira tetap merasa berat hati ditinggalkan oleh suami tercintanya.

* * *

Empat puluh hari sudah berlalu. Kini, Safira harus tetap memperjuangkan keberlangsungan hidup untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak mungkin bagi dia untuk selalu menggantungkan nasib kepada kedua orang tuanya. Walau Safira memiliki orang tua yang sangat pengertian.

Tekad dan kemauan yang kuat membuat safira berani mengambil keputusan untuk pindah ke kota. Meski sekarang ini dia harus menanggung beban seorang diri. Itu sudah menjadi pilihan hidupnya. Dengan berbekal ijazah dan kemampuan yang ia miliki, akhirnya Safira diterima bekerja di salah satu perusahaan tekstil ternama. Kini, Safira menjumpai dunia baru setelah sekian lama dunia kerja ia tinggalkan. Harapan baru yang sekarang ada di benaknya. Meski ia tak kuasa melupakan figur Firman sebagai suami pertama dan mungkin terakhir baginya. Bagi Safira, Firman adalah figur suami yang bisa menjadi panutan bagi dirinya untuk menjadi seorang istri yang sholehah. Biarpun begitu, safira tetap berharap kelak anaknya nanti bisa menjadi seorang anak yang berbakti pada orang tuanya.

Tak terasa setelah sekian lama menanti, akhirnya sang buah hati pertama lahir dari rahim seorang wanita. Safira ditemani Ibunya di sebuah rumah sakit swasta selama proses persalinan. Safira bangga telah mendapatkan karunia dari Allah SWT begitu besarnya. Semua jerih payahnya kini dapat ia rasakan.

”Selamat ya anakku Safira, engkau telah mendapatkan seorang putra yang tampan”, ucapan pertama dari seorang Ibu kepada anaknya.

”Makasih Bu, Älhamdulillah safira bangga sekali”.

”Ehm, apakah kamu sudah mempersiapkan nama untuk putramu ini nak?”

”Aku akan memberinya nama Eka, bagiku nama tiadalah penting, yang amat kuharapkan dari Eka agar nantinya ia bisa menjadi anak yang sholeh kepada orang tuanya, walau ayahnya telah tiada”.

”Jangan bersedih anakku, Allah akan selalu menolongmu, apakah kamu tidak ingin mencarikan seorang bapak untuk anakmu ini nantinya?”

”Ibu, aku tidak tahu. Apakah kelak aku bisa mendapatkan suami lagi yang sesempurna mas Firman”.

”Kalau kamu tidak keberatan, Ibu bisa mencarikanmu calon suami yang akan menerima kamu apa adanya”.

”Tapi aku sudah janda beranak satu pula, mana ada lelaki yang mau menjadi suamiku dan menerima aku apa adanya”.

” Ya sudahlah kalau kamu belum berkehendak, Ibu tak ingin memaksamu”.

”” Terima kasih atas pengertian Ibu”.

* * *

Saat ini Eka sudah berusia 6 tahun. Aku pun masih tetap menjadi Safira yang harus menjadi single parent buat anakku. Aku ingin melepas kesendirianku ini tapi apakah aku sanggup menerima kenyataan pahit manakala Eka ditinggal mati oleh ayah tirinya atau bahkan ditinggalkan pergi karena ayah tirinya lebih memilih wanita lain di hatinya daripada aku.

Akhirnya, sebuah keputusan bulat kuambil, dengan berbagai pertimbangan dan dukungan dari keluarga dan rekan-rekan sekantor. Eka membutuhkan figur seorang ayah. Hal itu lah yang menjadi salah satu pertimbanganku. Walau aku masih sangat mencintai Firman. Sepertinya tak ada salahnya tuk menerima cinta dari Robin. Seorang lelaki yang berperawakan tinggi yang mau menerima aku apa adanya. Kuharap dia bisa menjadi figur seorang ayah yang baik bagi anakku.

Harapanku ternyata sia-sia tak seperti apa yang selama ini kuharapkan pada Robin. Penikahan kami tak harmonis sama sekali. Mungkin hal ini dikarenakan keegoisannya dalam berumah tangga. Kucoba tuk mengalah dan tetap memaafkan kesalahannya tapi kali ini bukanlah kehendak yang ku mau. Robin meninggalkan aku tanpa menyesal meski aku tengah mengandung anaknya. Robin hanya kerapkali mengunjungi aku di rumah dan itupun hanya semalam saja. Saat ku tanya kenapa sikapnya akhir-akhir ini berubah kepadaku, Robin selalu saja menghindar.

Ternyata setelah kuselidiki bersama temanku, Vera di sebuah cafe jauh dari rumahku, ku lihat dengan mata kepalaku sendiri seorang wanita berpenampilan menarik sedang dalam pelukannya. Hatiku teriris perih sekali manakala peristiwa itu terjadi. Seketika pun aku ingin menampar Robin karena kurasa ia tak pantas untuk melakukan hal itu. Beruntunglah aku masih ada Vera yang menenangkan emosiku kala itu.

Robin pun tak tahu menahu soal itu. Akhirnya aku dan Vera memutuskan untuk meninggalkan tempat itu seketika juga. Semakin lama aku berada di situ, makin perih yang ada di ulu hatiku. Hatiku ingin berontak tapi tak kuasa diri ini tuk membuat lelaki itu sadar. Aku sudah berusaha untuk membuat dirinya mencintaiku kembali namun usahaku sepertinya bagi Robin hanyalah sebuah harapan kosong. Lama-lama aku makin muak dengan sikapnya yang makin kurang ajar kepadaku. Aku amat membencinya sampai kapan pun. Karena ia lelaki yang tak pantas untuk dihormati sama sekali. Robin, kau telah mengecewakan aku. Kau telah membuat hatiku luka, aku tidak akan memaafkanmu sampai kapanpun.

* * *

Aku harus kembali menjadi single parent lagi. Kini, buah hatiku bersama Robin telah lahir. Meskipun aku sangat membenci Robin, tapi aku bangga telah dianugerahi seorang putri yang cantik sekali, dan kuberinama ia Dinda. Sebenarnya hatiku menjerit manakala ingat kelakuan Robin terhadapku. Tapi aku mencoba tuk bersabar dan menerima kenyataan. Yang ada dalam pikiranku sekarang ini adalah bagaimana caranya kedua anakku ini bisa bahagia hidupnya meskipun tak ada figur ayah di antara mereka. Apakah aku bisa membesarkan mereka sendirian.

Aku yakin Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya melebihi batas kemampuan hambanya. Kini, aku bahagia bisa melihat kedua mata anak-anakku yang berbinar terang manakala mereka berbahagia meski tanpa seorang ayah. Aku yakin mereka akan mengerti dan memahami hal ini meski masih belum cukup umur bagi mereka untuk merasakan kepedihan. Dinda, Rama, Mama akan selalu menyayangimu sampai kapan pun dan akan selalu melindungimu. Percayalah itu.

* * * END Of STORy * * *

Tidak ada komentar: